Minggu, (1/12/2024), Perkembangan sastra saat ini bertumbuh kembang seiring kemajuan teknologi. Hal tersebut tentunya mempengaruhi eksistensi sastra ke depan, khususnya sastra pesantren. Fenomena ini direspon oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Tadris Bahasa Indonesia. Bertempat di aula Kampus 2 UIMSYA, acara ini dihadiri oleh 268 peserta, yang terdiri dari mahasiswa Program Studi Tadris Bahasa Indonesia serta siswa SLTA sederajat. Sarasehan yang mengusung tema “Sastra dari Bilik Pesantren” ini berlangsung dengan penuh antusiasme dan mendapat respon positif dari para peserta yang antusias mengikuti diskusi mendalam tentang peran sastra dalam kehidupan pesantren.
Acara dimulai dengan sambutan hangat dari Wakil Dekan III Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Lutfi Wahid, M.Pd. Dalam sambutannya, Lutfi Wahid menyampaikan pentingnya memahami sastra sebagai bagian integral dari pendidikan di pesantren. “Sastra tidak hanya berfungsi sebagai karya seni, tetapi juga sebagai alat untuk memahami nilai-nilai kehidupan dan spiritualitas. Melalui sastra, kita bisa menggali banyak pelajaran tentang kehidupan, budaya, dan agama,” ujar Lutfi Wahid dengan penuh semangat. Ia juga menekankan bahwa acara seperti ini merupakan bentuk upaya untuk mengintegrasikan pengetahuan sastra dengan kehidupan pesantren, yang memiliki warisan budaya kaya dan mendalam.
Setelah sambutan dari Wakil Dekan, acara dilanjutkan dengan sambutan oleh Kepala Program Studi Tadris Bahasa Indonesia, Ali Manshur, M.Pd. Ali Manshur mengungkapkan betapa pentingnya pengembangan sastra bagi para mahasiswa, terutama dalam konteks pesantren yang memiliki ciri khas tersendiri dalam memahami dan mengapresiasi karya sastra. “Pesantren bukan hanya tempat untuk mengajarkan ilmu agama, tetapi juga tempat untuk menciptakan karya-karya sastra yang memiliki nilai estetik dan spiritual. Melalui kegiatan ini, kami berharap mahasiswa dan peserta dapat lebih memahami keterkaitan antara sastra dan pesantren,” terang Ali Manshur.
Setelah sambutan-sambutan tersebut, acara dilanjutkan dengan sesi pemaparan materi dari tiga narasumber yang sangat kompeten di bidang sastra. Narasumber pertama, Taufiq Wr. Hidayat, seorang budayawan Lesbumi Banyuwangi, membahas peran penting nadzom dalam pesantren sebagai bagian dari karya sastra yang harus dihafalkan. Dalam pandangannya, nadzom bukan hanya sekadar bacaan, tetapi sebuah karya sastra yang memiliki nilai-nilai estetika yang harus dihargai. “Dalam nadzom pesantren, ada sastra, ada nada, dan ada irama yang harus dihormati. Ini adalah bagian dari budaya yang harus kita jaga dan kembangkan,” jelas Taufiq dengan penuh semangat. Ia juga mengungkapkan bahwa sastra pesantren memiliki kekuatan untuk mendidik dan membentuk karakter masyarakat melalui kata-kata yang penuh makna.
Narasumber kedua, Asngadi Rofiq, seorang dosen dari UIMSYA Blokagung, menyampaikan perspektifnya tentang pentingnya membaca sebelum menulis. “Sebelum menulis, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membaca. Membaca tidak hanya memperluas wawasan, tetapi juga membantu membentuk gaya bahasa yang baik dan benar. Menulis tanpa banyak membaca akan menghasilkan karya yang lemah dan kurang berbobot,” ujar Asngadi. Ia mendorong para peserta untuk terus membaca berbagai jenis karya sastra agar dapat menulis dengan lebih kreatif dan bermakna. Asngadi juga menekankan bahwa kegiatan membaca dan menulis harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari bagi calon penulis.
Pemateri ketiga, Mahwi Air Tawar, seorang sastrawan nasional, memberikan wawasan yang sangat berharga tentang sastra di kalangan pesantren. Menurut Mahwi, sastra di pesantren memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh sastra dari tempat lain. “Sastra pesantren sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai agama, budaya lokal, dan spiritualitas. Karya-karya sastra yang lahir dari pesantren sering kali mengandung kedalaman makna yang dapat memberikan pencerahan bagi pembacanya,” ujar Mahwi. Ia juga mengungkapkan bahwa sastra di pesantren bukan hanya soal bahasa yang indah, tetapi lebih kepada pesan moral dan pendidikan yang terkandung dalam setiap karya yang diciptakan.
Kegiatan sarasehan ini diakhiri dengan sesi tanya jawab dan diskusi yang melibatkan peserta yang sangat antusias. Banyak peserta yang mengungkapkan rasa terimakasih dan kegembiraan mereka mengikuti acara ini. “Kegiatan seperti ini sangat menarik untuk kami yang ingin belajar menjadi penulis. Kami bisa melihat langsung bagaimana sastra berinteraksi dengan pesantren, serta mendapatkan wawasan baru tentang bagaimana cara menulis yang baik dan benar,” ujar salah satu peserta, Diah, seorang mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia. Para peserta juga mengaku merasa lebih termotivasi untuk terus mengembangkan diri sebagai penulis dan mengapresiasi karya sastra, baik di dunia pesantren maupun di luar pesantren.
Sarasehan sastra yang digelar oleh HMPS Tadris Bahasa Indonesia ini memang tidak hanya memberikan pengetahuan baru tentang sastra, tetapi juga menjadi ajang bertukar ide dan inspirasi bagi semua yang hadir. Melalui acara ini, para peserta diharapkan dapat semakin mencintai dunia sastra, mengembangkan kemampuan menulis, dan memahami pentingnya peran pesantren dalam memperkaya khazanah sastra Indonesia. (zul)