Kiai Mukhtar Syafa’at Abdul Ghofur atau yang akrab dipanggil Kiai Syafa’at merupakan kiai yang masyhur memiliki banyak karomah sebagaimana yang dimiliki para kekasih Allah. Kiai yang sangat mengagumi Imam al-Ghazali ini bahkan secara rutin mengaji kitab Ihya’ Ulumiddin karya fenomenal Sang Filsuf Islam tersebut, sehingga Kiai Syafa’at mendapatkan gelar dari masyarakat sebagai Imam al-Ghazalinya tanah Jawa, karena kiai yang lahir di dusun Sumantoro, desa Ploso Lor, kecamatan Ploso Klaten, kabupaten Kediri ini juga menjadikan akhlak tasawuf notabene kajian kitab Ihya’ Ulumiddin sebagai perilaku dan jiwa pendidikan di Pesantren Darussalam Blokagung yang ia dirikan pada tanggal 15 Januari 1951.
Salah satu dari karomah kiai yang juga terlibat dalam perang melawan Jepang di kabupaten Banyuwangi ini adalah mengetahui kedatangan Malaikat Izroil dan meminta untuk menunda maut pada malaikat pencabut nyawa tersebut. Hal ini sebagaimana penuturan Mbah Wan, santri yang diberi amanah untuk mendampingi Kiai Syafa’at di ndalem maupun dalam perjalanan Beliau sebagai Mubaligh bahkan hingga ditunjuk sebagai sekretaris pribadi saat Kiai Syafaat medirikan sekaligus mendapat amanah sebagai Pengurus MMPP (Majelis Musyawarah Pengasuh Pesantren) serta merintis dan menjadi Rais Syuriah PCNU (Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama) kabupaten Banyuwangi.
Suatu pagi di tahun 1981, saat Mbah Wan berada di ndalem kasepuhan bersama Kiai Syafa’at, tiba-tiba Kyai Syafa’at menuturkan bahwa baru saja ada tamu. Mbah Wan pun bertanya: “pangapunten sinten? (mohon maaf, siapa?)”. “Malaikat Izrail”, jawab Kiai Syafa’at dengan tenang. Mbah Wan yang mendengar jawaban terkait siapa tamu tersebut langsung terkejut. “Malaikat Izrail, iki mau arep nyabut nyowoku, tapi tak towo, ojo sak iki, anak-anakku isih cilik-cilik, dadi tak omongi kon mrene 10 tahun maneh (Malaikat Izrail, ini tadi hendak mencabut nyawaku, tapi saya tawar, jangan sekarang, anak-anakku masih kecil, datanglah kembali 10 tahun lagi”, urai Kiai yang melahirkan ratusan kiai di seluruh penjuru Indonesia ini dengan santai.
Mbah Wan terdiam mendengar penuturan tersebut, dalam hati Mbah Wan berharap semoga kiai yang sangat dicintai ini panjang umur dan bisa terus membersamai santri-santri dengan keteladan akhlak, kecintaan pada umat dan masyarakat, khususnya di kabupaten Banyuwangi. Benar saja 10 tahun kemudian Kiai Syafa’at meninggal pada usia 72 tahun, hari Sabtu, dini hari, pukul 02.00 WIB, tanggal 02 Februari 1991 M. Bertepatan dengan tanggal 17 Rajab 1411 H. Mbah Wan saat itu termasuk yang sibuk menyambut tamu teringat cerita Kiai Syafa’at 10 tahun lalu. Beliaupun menuturkan kisah tersebut pada putra-putri Mbah Kiai Syafaat, termasuk Kiai Ahmad Munib Syafa’at yang menceritakan kisah ini pada penulis.
Begitulah sepenggal kisah karomah Kiai Syafa’at yang meminta kepada Malaikat Izrail untuk menunda mautnya, tentu bagi orang awam hal ini tidak akan bisa terjadi, karena maut adalah takdir yang menjadi hak preogratif Allah untuk menentukannya dan menjadi kewenangan Malaikat Izrail melakukannya. Hal ini menjadi bukti bahwa ada hak–hak khusus yang diberikan Allah kepada para kekasihnya dan ini juga menjadi bukti bahwa doa adalah senjata yang diberikan Allah kepada kaum mukmin sebagai cara untuk merubah takdir. Dalam kitab Tsauban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali doa. Tidak ada yang bisa menambah usia kecuali kebajikan. Sungguh, seseorang benar-benar akan terhalang dari rezekinya karena doa yang telah ia kerjakan.” (HR. Al-Mustadrak, 1:493). __Aim__