Karomah Kiai Syafa’at Blokagung Thowaf Bersama Nabi Khidir

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp

Pendiri sekaligus Pengasuh pertama Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi, Kiai Mukhtar Syafa’at Abdul Ghofur atau yang dipanggil dengan Kiai Syafa’at adalah kiai kharismatik dengan kesederhanaan dan kedermawanan di atas rata-rata. Mbah Wan, santri yang ngabdi di ndalem dan ndereaken (mendampingi) Beliau saat mengisi pengajian maupun menghadiri undangan dari wali santri, alumni dan masyarakat menceritakan bahwa seringkali sepulang acara Beliau tidak membawa apa-apa karena semua telah disedekahkan kepada orang-orang yang ditemui di jalan. Bahkan pernah sepulang perjalanan dari ziarah wali, Mbah Wan diminta untuk kembali ke makam salah satu wali yang diziarahi disebabkan ada salah satu pengemis yang belum sempat diberi uang oleh Kiai Syafa’at.

Kedermawanan Kiai Syafa’at ini menunjukkan solidaritas tinggi pada masyarakat, bahkan juga menunjukkan bahwa Beliau sangat sederhana di tengah kesempatan untuk hidup berkecukupan, tetapi Beliau memilih jalan sedekah dan sederhana. Justru hal inilah yang semakin menahbiskan bahwa Beliau adalah kekasih Allah seperti halnya lazimnya kekasih Allah, Kiai Syafa’at juga memiliki karomah yang tidak sedikit, diantaranya sebagaimana kisah saat Beliau menunaikan ibadah haji di tanah haram bersama H. Fauzi, santri yang membersamai Beliau saat thowaf yakni proses mengelilingi ka’bah sambil membaca talbiyah.

H. Fauzi yang saat itu, kali pertama menunaikan ibadah haji bertanya kepada Kiai Syafa’at tentang tata cara thowaf yang benar. Kiai Syafa’at pun menjelaskan caranya kepada H. Fauzi hingga bisa difahami, termasuk meminta H. Fauzi merapatkan barisan agar tidak terpisah dengan Kiai Syafa’at dan jamaahnya. Akan tetapi menariknya saat thowaf berlangsung, H. Fauzi diminta Kiai Syafa’at untuk menjaga jarak dengan memberi isyarat melonggarkan yang diperkirakan cukup untuk 2 orang. Hal ini menjadi pertanyaan H. Fauzi yang tidak berani diungkapkan hingga thowaf selesai.

Sepulang thowaf di tempat peristirahatan saat sedang bersantai H. Fauzi memberanikan diri mendekat dan bertanya kepada Kiai Syafa’at tentang permintaan Beliau berbeda pada sebelum dan saat pelaksanaan thowaf. Jika sebelum thowaf Kiai Syafa’at meminta agar merapat pada Beliau, sebaliknya saat thowaf diminta menjaga jarak. “Pangapunten, punopo wau kulo ken ngadoh wekdal thowaf, tirose Njenengan ken merapat kersane mboten ilang?. “Maaf Kiai, kenapa tadi saat thowaf saya diminta menjauh, kata Kiai sebelum thowaf tadi diminta merapatkan barisan agar tidak hilang?”. Pertanyaan itupun langsung dijawab oleh Kiai Syafa’at dengan nada yang tenang: “Yo, mergane mau kae ono Nabi Khidir melu thowaf bareng, dadi Sampean tak kon ngekei nggon sing cukup. Ya karena tadi itu ada Nabi Khidir yang ikut thowaf bersamaku, jadi kamu ku minta memberi tempat yang cukup”. Mendapat jawaban ini H. Fauzi terdiam tidak mengira ternyata Nabi Khidir pun ingin thowaf bersama Kiai Syafa’at.

Kisah tersebut tentu mencerminkan bahwa Kiai Syafa’at bukan hanya kiai yang sangat dicintai oleh santri dan masyarakat tetapi dengan kesederhanaan, kedermawanan dan seluruh sifat baiknya, Kiai Syafa’at juga dicintai oleh Allah dan Nabi Khidir yang juga kekasih Allah oleh karena itulah Kiai Syafa’at tidak pernah terlihat susah selalu tampak bahagia dan tentu juga memberikan kebahagiaan untuk santri dan masyarakatnya. Hal ini sebagaimana QS. Yunus ayat 62: alâ inna auliyâ’allâhi lâ khaufun ‘alaihim wa lâ hum yahzanûn, artinya: Ketahuilah bahwa sesungguhnya (bagi) para wali Allah itu tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih. (Aim)