Karomah Kiai Syafa’at Blokagung Mengetahui Santrinya Menjadi Wali

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp

Menceritakan karomah Kiai Syafa’at, Pendiri sekaligus Pengasuh Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi ini seakan tak pernah habis, terus bermunculan dari berbagai sumber terpercaya, diantaranya dari cerita Kiai Abdul Rohim (Kiai Rohim), Pengasuh Pesantren Mamba’ul Khairiyatil Islamiyah atau yang biasa disingkat MHI, Bangsalsari Jember.

Dalam kenangan kiai yang juga Mursyid Thariqah al-Qadiriyyah yang berafiliasi kepada ajaran Syekh Qadir al-Jailani serta Mursyid Thariqah Naqsyabandi yang berafiliasi kepada Syekh Bahaudin an-Naqsyabandi ini, Kiai Syafa’at adalah kiainya kiai, karena keberhasilannya mendidik santrinya menjadi kiai dan mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing dengan mendirikan pesantren hingga madrasah dan lembaga pendidikan islam lainnya.

Suatu hari Kiai Syafa’at menuturkan kepada Kiai Rohim bahwa ada 3 santrinya yang menjadi wali. “ono telu santriku sing dadi wali (ada tiga santriku yang jadi wali)”. Kiai Rohim mendengarkan penuturan tersebut dengan ta’dhim, karena meyakini La ya’riful wali illal wali, tidak ada yang mengetahui wali kecuali wali. Pernyataan Kiai Syafa’at tersebut mengaskan bahwa Beliau futuh (terbuka mata batinnya), diantaranya adalah keistiqamahan Kiai Syafa’at dalam membaca wurud yaumiyah Imam al-Ghazali. Hal ini sebagaimana identitas para wali Allah adalah alladzîna qâlû rabbunallâhu tsummastaqâmû (orang-orang yang mengatakan tuhannya adalah Allah lalu istiqamah dalam ibadahnya).

Istiqamah menjadi salah satu tanda kewalian, khususnya dalam bidang ibadah, karena tidak semua orang mampu melakukannya. Seperti halnya mengenal tuhan dan beribadah kepadaNya. Bagi orang awam, mengenal tuhan itu bisa dilakukan, tapi tentu orang awam tidak bisa terus mengenal tuhan dengan istiqamah beribadah, disinilah menunjukkan bahwa istiqamah itu hal yang sulit, hingga dikatakan “al-istiqamatu khairun min alfi karamatin, istiqamah itu lebih baik dari seribu karomah”. Sebagaimana penuturan Gus Mus (KH. Musthofa Bisri, Rembang Jawa Tengah) saat peringatan tujuh hari wafatnya Mbah Dim, Pengasuh Pondok Pesantren al-Fadlu wal-Fadlilah Kaliwungu Kendal yang menyampaikan bahwa diantara tanda kewalian Mbah Dim adalah keisitiqamahannya berbagi, peduli pada masyarakatnya hingga menjelang wafatnya masih terus memikirkan santri dan pesantren yang dipimpinnya. Hal ini juga istiqamah dilakukan oleh Kiai Syafa’at, urusan berbagi (bersedekah) sudah sangat masyhur hingga Beliau juga dikenal memiliki sifat sakho’ (dermawan).

Sementara itu Imam al-Ghazali menuturkan: maa hashola lii al-futuh wal barakah illa bii hadzihil-auraad, artinya: diantara hal yang membuatnya berhasil mencapai kebehagiaan serta terlepas dari kesusahan adalah dengan istiqamah membaca wurud yaumiyah, Jum’at: Ya Allah, Sabtu: Laa ilaaha illallah, Minggu: Ya Hayyu Ya Qayyum, Senin: Laa haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adhiim, Selasa: Allahumma shalli ‘alaa Sayyidina Muhammad wa ‘alaa aalihi washahbihi wa sallim, Rabu: Astaghfirullah’adhiim, Kamis: Subhanallahil ‘adhiim wabihamdih. Masing-masing wurud tersebut setiap hari dibaca sebanyak 1000 kali. Kiai Rohim menyampaikan bahwa wurud yaumiyah Imam al-Ghazali tersebut dibaca Kiai Syafa’at secara istiqamah hingga sebelum wafat bersama seluruh santri di Pesantren Darussalam Blokagung bahkan juga dibaca para alumni di daerah asal mereka masing-masing. (Aim)